Arkilaus Baho (foto: Facebook) |
Tanah Papua secara politis
menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia (NRI) melalui dinamika Trikora
pada tanggal 1 Mei tahun 1963 dan Pepera tahun 1969. Proses politis diatas
menimbulkan luka dan surga. Surga bagi para pemilik kepentingan untuk berkuasa
dan neraka bagi leluhur setempat. Begitu juga, proses lahirnya pancasila 1 Juni
maupun berlakunya UUD 1945 sebagai pedoman bernegara Indonesia sudah berlaku
disaat Papua belum bagian dari NRI. Supaya aspek sosiologi Papua menjadi syarat
dalam sebuah produk hukum, maka pemerintahan NRI menyelenggarakan berbagai
kebijakan pro-Papua. Dari jaman Sukarno hingga Jokowi, perlakuan khusus
dijalankan.
Kacamata hukum, sosiologi
hukum perlu menjadi syarat pembentukan UU. Nah, UUD 1945, Pancasila sebagai
ruang fundamental di RI ditetapkan dan berlaku sebelum adanya integrasi.
Penguasa Indonesia awalnya mengklaim bahwa nusantara merupakan bekas Hindia
Belanda sehingga dianggap penerapan hukum dasar bernegara cocok. Sementara
Papua bukan bekas administratif Hindia Belanda karena pemerintahan belanda di
Papua bernama Netherland New Guinea dengan ibu kota di Holandia Jayapura.
Dampak bagi penerapan hukum
negara yang tidak memenuhi sosiologi hukum tak lain tidak adanya rasa
nasionalisme, apatisme dan pengabaian. Sebab warga merasa hukum tidak adil dan
cenderung tidak mengadopsi sosio kultural mereka. Undang-undang pokok agraria
tahun 1960 yang dikenal UUPA yang mengatur tentang tanah, dibuat tanpa Papua.
Kala itu belum ada negeri cenderawasih itu di NRI. Dampaknya, tanah agraris
sesuai maunya UUPA tidak sama dengan perlakuan tanah bagi orang Papua.Tanah
bagi orang Papua itu simbol Ibu yang beri makan. Bukan sebagai tanah agraris.
Amandemen UU 1945 yang ke-IV juga belum menjawab aspek sosiologi hukum soal
Papua walau sudah ada Papua bagian NRI.
Amandemen hanya mengakomodir
hal politis kekuasaan. Lahirnya UU otonomi daerah dimana Papua diperlakukan
khusus. Perkembangan hukum dari tatanegara itu memang mengakomodir kepentingan
politik atas. Dampaknya, berlomba lomba jadi pejabat otonom. Sementara aspek
kultur tak pernah disentuh walaupun pembukaan UU otsus menyebutkan soal budaya.
Itulah yang kini menjadi bumerang.
Rezim globalisasi yang
merasuk ke Indonesia kemudian mengadopsi cara kapital sebagai kehendak masa
kini. Berlakulah teori Tricle Down. Dampaknya, UU Agraria di Papua merampok
tanah tanah adat yang disimbolkan sebagai kandungan ibu kepada perusahaan
asing. Investasi dibuka seluas luasnya dengan harapan ceceran kapital
mengangkat derajat kesejahteraan. Seharusnya, pasca bergabungnya Papua ke NRI
setelah PEPERA atau trikora 1963, sejak itulah Pancasila dan UUD 1945 dianggap
tidak pernah ada dan harus ada dasar bernegara yang diwujudkan secara bersama
sama.
Untuk apa ada dasar negara
baru pasca Papua ada di NRI? Ya supaya orang Papua membawa harapan mereka yg
menjadi dasar dari penyelenggaraan negara dimasa yang akan datang. Sampai kapanpun,
nasib orang Papua tidak pernah menjadi ruh dalam UUD 1945 maupun Pancasila
sebab keberadaan Papua didalam NKRI.
Papua belakangan dan sesudah
Indonesia punya dasar negara yang isinya tidak ada aspek sosiologi orang Papua.
Itulah patokan dasar mengapa orang Papua bukan bagian dari dasar negara
Indonesia sebab berlakunya fondasi dasar sebelum Papua ada di Indonesia.
Penulis adalah aktivis
sosial Papua