Oleh: Agustinus R.Kambuaya
Pulang kampung adalah
kerinduan setiap orang, dikampung halam mereka bisa melepas rindu kepada sanak family, menelusuri jejak-jejak
masa kecil dan bercengkrama dengan teman-teman sejawat, begitulah perasaan yang
biasa dirasakan oleh orang-orang yang mengejar impian dan mengadu nasib
dirauntaun. Saat itu Juli adalah bulan puasa dan libur lebaran, orang-orang
memanfaatkan liburan bulan puasa untuk pulang ke kampung halaman. Melihat
akitivitas masyarakat di Jayapura yang lalu lalang ke Travel untuk membeli tiket
mudik, saya juga memutuskan untuk pulang ke kampung halaman kampung Kambuaya.
Bermodalkan sedikit duit (pitis) membeli tiket KM.Gunung Dempo dengan rute
pelayaran Jayapura, Biak, Sorong. Pelayaran kami semakin seru karena bertemu
beberapa lelaki paruh baya yang ramah dan hangat, mereka menuturkan kisah
mangis Papua tempo dulu diera Holandia, kebahagian semakin sempurna karena
mendengar kisah menarik sambil menyaksikan keindahan pasir putih dibibir pantai
dan gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Terlena kisah mangis
Petua-petua Maybrat dan Biak diatas
kapal, tidak terasa dua hari telah berlalu dan kamipun segera sandar di
Pelabuhan Sorong. Perjalanan kami tidak berhenti di Sorong, kami masih harus
melanjutkan perjalan ke kampung Kambuaya di negeri kabut berasap Maybrat. Siang
itu, Mobil Fordtuner Hitam telah siap, saya bersama rombongan pelancong
(traveler) Irma, Julian, Sita, Denis, Pith, dan supir Yoel menyiapkan bekal
makan secukupnya, mengisi bahan bakar untuk menyusuri jalan Sorong Maybrat.
Jarum jam menunjukan pukul 15:00 kami meningalkan Kota Sorong menuju Kampung
Kambuaya di Maybrat.
Perjalanan membutuhkan waktu
kurang lebih lima jam, waktu yang cukup lama dengan kontur geografis yang
bergunung, bukit dan lembah membuat kami akan terasa lelah. Kelelahan kami
tampaknya tidak terasa karena kami disuguhi pemandangan hutan yang indah,
alunan musik dan lagu tembang kenangan menjadi hiburan serasi dengan tema
perjalanan pulang kampung Kambuaya. Empat jam berlalu, jam 16:45 rombongan
traveler (pelancong) memasuki wilayah Maybrat, didepan kami tersaji pemandangan
hutan Maybrat dengan cirri khas bomira, kimbat, samo, kosna berjejer asri
ditanjakan satu kilo begitulah orang Maybrat menyebut tanjakan itu. Pemandangan
kebun kacang tanah, bawang merah, keladi khas Maybrat benar-benar mengembalikan
kenangan masa kecil saya. Sembari menurturkan kenangan masa kecil di Kambuaya,
perlahan kami melintasi Ayamaru yang pernah menjadi pusat pemerintahan di Era
Nederland hingga saat ini menjadi pusat pemerintahan sementara Kabupaten
Maybrat. Pemandangan rumah-rumah tua peninggalan Belanda memanjakan mata kami,
kami seoalah berjalan-jalan di Ayamaru
tempo dulu.
Kambuaya Tempo Dulu Dan Kini
Jam 17:00 rombongan traveler
(pelancong) akhirnya tiba di kampung Kambuaya, kerinduan saya semakin tidak
terbendung, seperti tanggul bendungan yang patah meluapkan air kesemua daerah
begitulah yang saya rasakan saat mobil Fordtuner memasuki kampung Ismayo,
kampung hasil pemekaran dari kampung induk Huberita salah satu kampung tua di kampung
Kambuaya.
Kampung Kambuaya letaknya
dibawah kaki gunung Keyum, diapit oleh beberapa gunung kembar, disebelah timur
terbentang danau Ayamaru membuat kampung ini terlihat begitu indah Nan eksotik.
Pada masa sebelum masuknya Belanda maupun Indonesia, masyarakat di kampung ini
tinggal terpisah-pisah, membentuk komuni sendiri-sendiri menurut keret di
dusun-dusun sekitar. Berkat pekabaran Injil di Tanah Papua pada era 1950-an
masyarakat yang terpisah-pisah ini mulai tersentuh oleh Injil sehingga muncul kesadaran
menerima injil dan membentuk komunitas bersama yang namanya kampung Kambuaya
saat ini. Keadaan kampung Kambuaya pada
masa-masa awal cukup sulit karena tidak adanya akses transpotasi darat, laut
dan udara. Akses pendidikan, kesehatan tidak pernah dinikmati secara dimasa
itu. Kesulitan yang ada tidak mematahkan semangat kebersamaan kampung yang baru
dibangun.
Bermodalkan semangat gotong
royong, kersama dan kerja besama-sama Anu Beta Tubat (ABT), masyarakat bahu
membahu menyumbangkan kayu, berjalan kaki berhari-hari melintasi
kampung-kampung untuk mendapatkan smen dan sengk, paku di Teminabuan untuk
pembangunan sekolah, gereja dan rumah sakit. Pekerjaan melelahkan ini dilakukan
secara sukarela tanpa pamrih. Prof. Bhaltazar Kambuaya, Ir. Michael Kambuaya,
Drs. Paul Homer, Max Mair Kambuaya, Corneles Sraun S.Sos, Jemmy Murafer
mengisahkan bahwa semangat pengorbanan generasi tua diperlihatkan dengan
berkorban kepada pembangunan sesuai profesi mereka. Nelayan menyumbangkan ikan
dari danau, petani menyumbangkan keladi dan umbi-umbian, semuanya dilakukan
secara sukarela untuk pembangunan kepentingan umum. Mayarakat generasi tua ini
tidak mengenal gelar Profesor, Dr. Ir. M.Si yang mereka tau pasti pendidikan
itu akan membuat anak-anak mereka menjadi Manusia.
Meski dililit kesulitan
tidak membatasi rasa kebersamaan dan harmoni diantara masyarakat kampung
kambuaya. Kebiasaan gotong royong, saling menolong, membantu membuat kesulitan
masa itu tidak terasa. Aktivitas berburu, meramu dan mencari ikan di danau hasilnnya
di bagi-bagi sebagai berkat bersama menjadi tardisi tidak terlupakan. Kehidupan
masyarakat kampung Kambuaya pada masa 1950-1980-an benar-benar harmonis dan
memiliki nilai sosial tinggi. Habis gelap terbitlah terang begitulah kisah
masa-masa kesulitan masyarakat kampung Kambuaya. Perubahan terus berjalan,
akses transpotasi darat, laut dan udara menembus isolasi wilayah kepala burung
hingga kampung Kambuaya. Keadaan kampung kambuaya berubah dengan cepat,
sekolah-sekolah, rumah sakit berdiri dengan mengah. Masyarakat kampung kambuaya
saat ini sudah bisa berpergiaan kemana saja tanpa hambatan.
Sedikit mengenang masa lalu,
saya mengajak rekan-rekan traveler mengelilingi kampung Kambuaya, menelusuri
jejak langkah masa kecil, menelusuri sekolah dasar, tempat saya bersama
teman-teman bersekolah dulu, mendatangi kali Mosibar, Kali Ifaas, kali Ismayo
dan mendatangi beberapa rekan sembari
ngobrol dan bernostalgia tentang masa kecil. Dorsila namanya, Ia mengisahkan
disni sudah berubah, semua telah berubah. Bangunan Sekolah Dasar (SD) sudah
direnofasi, SMP Masih kokoh berdiri. Kawan-kawan masa kecil kami kita semua
sudah menikah, ada yang sudah punya anak dan ada yang belum menikah. Dorsila
lanjut menuturkan, teman-teman masa kecil kita di kampung ini banyak merantau,
berekerja di kota, menjadi orang sukses dan terkenal. Obrolan kami semakin hangat, namun ada yang
hilang, beberapa dari kawan karib kami Daud, Salmon telah di Panggil Tuhan.
Mereka teman masa kecil kami yang dulu sehabis pulang sekolah kami berundi akan
ke kebun atau ke Danau, setelah habis berundi pemenang undilah yang menentukan
kemana kami pergi.
Semua telah berubah, namun
satu hal yang tetap terjaga adalah budaya kebersamaan, kekeluargaan dan gotong
royong. Masyarakat kampung itu masih berpegang pada spirit Anu Beta Tubat
(ABT), mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa Pdt. Domini Ruben Rumbiak
mendapatkan pernyataan wasiat TUHAN bahwa peliharalah (1) Kasih, (2),
(3)Persatuan, Kerendahan hati, (4) penghormatan kepada orang lain, maka berkat
akan menjadi milikmu turun temurun peryataan ini dipercaya masyarakat ampung
Kambuaya hingga kini. Petualangan kami di kampung Kambuaya pun berakhir dengan
mengujungi Tugu Teofani dan Gereja Silo Kambuaya. Satuhal yang kami pelajari,
bahwa prinsip hidup kebersamaan dan pengorbanan tampa pamrih membuat kampung
ini terus berubah menyesuaikan diri dengan perubahan yang datang. Namun
sesnguhnya ada yang datang dan ada yang pergi, ada angkatan yang lahir dan
angkatan yang meninggal itulah siklus kehidupan. Namun semangat dan filososfi
hidup tetap tinggal bersama generasi seterusnya. Meen Kanu Beta Yefun Yataam
Anu, tna yatam amu yi. Amin.