Minggu, 14 Februari 2016

KENANGAN DI KAMPUNG KAMBUAYA

Oleh: Agustinus R.Kambuaya

Pulang kampung adalah kerinduan setiap orang, dikampung halam mereka bisa melepas rindu  kepada sanak family, menelusuri jejak-jejak masa kecil dan bercengkrama dengan teman-teman sejawat, begitulah perasaan yang biasa dirasakan oleh orang-orang yang mengejar impian dan mengadu nasib dirauntaun. Saat itu Juli adalah bulan puasa dan libur lebaran, orang-orang memanfaatkan liburan bulan puasa untuk pulang ke kampung halaman. Melihat akitivitas masyarakat di Jayapura yang lalu lalang ke Travel untuk membeli tiket mudik, saya juga memutuskan untuk pulang ke kampung halaman kampung Kambuaya. Bermodalkan sedikit duit (pitis) membeli tiket KM.Gunung Dempo dengan rute pelayaran Jayapura, Biak, Sorong. Pelayaran kami semakin seru karena bertemu beberapa lelaki paruh baya yang ramah dan hangat, mereka menuturkan kisah mangis Papua tempo dulu diera Holandia, kebahagian semakin sempurna karena mendengar kisah menarik sambil menyaksikan keindahan pasir putih dibibir pantai dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. 


Terlena kisah mangis Petua-petua Maybrat dan Biak  diatas kapal, tidak terasa dua hari telah berlalu dan kamipun segera sandar di Pelabuhan Sorong. Perjalanan kami tidak berhenti di Sorong, kami masih harus melanjutkan perjalan ke kampung Kambuaya di negeri kabut berasap Maybrat. Siang itu, Mobil Fordtuner Hitam telah siap, saya bersama rombongan pelancong (traveler) Irma, Julian, Sita, Denis, Pith, dan supir Yoel menyiapkan bekal makan secukupnya, mengisi bahan bakar untuk menyusuri jalan Sorong Maybrat. Jarum jam menunjukan pukul 15:00 kami meningalkan Kota Sorong menuju Kampung Kambuaya di Maybrat. 

Perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih lima jam, waktu yang cukup lama dengan kontur geografis yang bergunung, bukit dan lembah membuat kami akan terasa lelah. Kelelahan kami tampaknya tidak terasa karena kami disuguhi pemandangan hutan yang indah, alunan musik dan lagu tembang kenangan menjadi hiburan serasi dengan tema perjalanan pulang kampung Kambuaya. Empat jam berlalu, jam 16:45 rombongan traveler (pelancong) memasuki wilayah Maybrat, didepan kami tersaji pemandangan hutan Maybrat dengan cirri khas bomira, kimbat, samo, kosna berjejer asri ditanjakan satu kilo begitulah orang Maybrat menyebut tanjakan itu. Pemandangan kebun kacang tanah, bawang merah, keladi khas Maybrat benar-benar mengembalikan kenangan masa kecil saya. Sembari menurturkan kenangan masa kecil di Kambuaya, perlahan kami melintasi Ayamaru yang pernah menjadi pusat pemerintahan di Era Nederland hingga saat ini menjadi pusat pemerintahan sementara Kabupaten Maybrat. Pemandangan rumah-rumah tua peninggalan Belanda memanjakan mata kami, kami seoalah berjalan-jalan  di Ayamaru tempo dulu. 

 Kambuaya Tempo Dulu Dan Kini 

Jam 17:00 rombongan traveler (pelancong) akhirnya tiba di kampung Kambuaya, kerinduan saya semakin tidak terbendung, seperti tanggul bendungan yang patah meluapkan air kesemua daerah begitulah yang saya rasakan saat mobil Fordtuner memasuki kampung Ismayo, kampung hasil pemekaran dari kampung induk Huberita salah satu kampung tua di kampung Kambuaya. 

Kampung Kambuaya letaknya dibawah kaki gunung Keyum, diapit oleh beberapa gunung kembar, disebelah timur terbentang danau Ayamaru membuat kampung ini terlihat begitu indah Nan eksotik. Pada masa sebelum masuknya Belanda maupun Indonesia, masyarakat di kampung ini tinggal terpisah-pisah, membentuk komuni sendiri-sendiri menurut keret di dusun-dusun sekitar. Berkat pekabaran Injil di Tanah Papua pada era 1950-an masyarakat yang terpisah-pisah ini mulai tersentuh oleh Injil sehingga muncul kesadaran menerima injil dan membentuk komunitas bersama yang namanya kampung Kambuaya saat ini.  Keadaan kampung Kambuaya pada masa-masa awal cukup sulit karena tidak adanya akses transpotasi darat, laut dan udara. Akses pendidikan, kesehatan tidak pernah dinikmati secara dimasa itu. Kesulitan yang ada tidak mematahkan semangat kebersamaan kampung yang baru dibangun. 

Bermodalkan semangat gotong royong, kersama dan kerja besama-sama Anu Beta Tubat (ABT), masyarakat bahu membahu menyumbangkan kayu, berjalan kaki berhari-hari melintasi kampung-kampung untuk mendapatkan smen dan sengk, paku di Teminabuan untuk pembangunan sekolah, gereja dan rumah sakit. Pekerjaan melelahkan ini dilakukan secara sukarela tanpa pamrih. Prof. Bhaltazar Kambuaya, Ir. Michael Kambuaya, Drs. Paul Homer, Max Mair Kambuaya, Corneles Sraun S.Sos, Jemmy Murafer mengisahkan bahwa semangat pengorbanan generasi tua diperlihatkan dengan berkorban kepada pembangunan sesuai profesi mereka. Nelayan menyumbangkan ikan dari danau, petani menyumbangkan keladi dan umbi-umbian, semuanya dilakukan secara sukarela untuk pembangunan kepentingan umum. Mayarakat generasi tua ini tidak mengenal gelar Profesor, Dr. Ir. M.Si yang mereka tau pasti pendidikan itu akan membuat anak-anak mereka menjadi Manusia. 

Meski dililit kesulitan tidak membatasi rasa kebersamaan dan harmoni diantara masyarakat kampung kambuaya. Kebiasaan gotong royong, saling menolong, membantu membuat kesulitan masa itu tidak terasa. Aktivitas berburu, meramu dan mencari ikan di danau hasilnnya di bagi-bagi sebagai berkat bersama menjadi tardisi tidak terlupakan. Kehidupan masyarakat kampung Kambuaya pada masa 1950-1980-an benar-benar harmonis dan memiliki nilai sosial tinggi. Habis gelap terbitlah terang begitulah kisah masa-masa kesulitan masyarakat kampung Kambuaya. Perubahan terus berjalan, akses transpotasi darat, laut dan udara menembus isolasi wilayah kepala burung hingga kampung Kambuaya. Keadaan kampung kambuaya berubah dengan cepat, sekolah-sekolah, rumah sakit berdiri dengan mengah. Masyarakat kampung kambuaya saat ini sudah bisa berpergiaan kemana saja tanpa hambatan. 

Sedikit mengenang masa lalu, saya mengajak rekan-rekan traveler mengelilingi kampung Kambuaya, menelusuri jejak langkah masa kecil, menelusuri sekolah dasar, tempat saya bersama teman-teman bersekolah dulu, mendatangi kali Mosibar, Kali Ifaas, kali Ismayo dan  mendatangi beberapa rekan sembari ngobrol dan bernostalgia tentang masa kecil. Dorsila namanya, Ia mengisahkan disni sudah berubah, semua telah berubah. Bangunan Sekolah Dasar (SD) sudah direnofasi, SMP Masih kokoh berdiri. Kawan-kawan masa kecil kami kita semua sudah menikah, ada yang sudah punya anak dan ada yang belum menikah. Dorsila lanjut menuturkan, teman-teman masa kecil kita di kampung ini banyak merantau, berekerja di kota, menjadi orang sukses dan terkenal.  Obrolan kami semakin hangat, namun ada yang hilang, beberapa dari kawan karib kami Daud, Salmon telah di Panggil Tuhan. Mereka teman masa kecil kami yang dulu sehabis pulang sekolah kami berundi akan ke kebun atau ke Danau, setelah habis berundi pemenang undilah yang menentukan kemana kami pergi. 

Semua telah berubah, namun satu hal yang tetap terjaga adalah budaya kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royong. Masyarakat kampung itu masih berpegang pada spirit Anu Beta Tubat (ABT), mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa Pdt. Domini Ruben Rumbiak mendapatkan pernyataan wasiat TUHAN bahwa peliharalah (1) Kasih, (2), (3)Persatuan, Kerendahan hati, (4) penghormatan kepada orang lain, maka berkat akan menjadi milikmu turun temurun peryataan ini dipercaya masyarakat ampung Kambuaya hingga kini. Petualangan kami di kampung Kambuaya pun berakhir dengan mengujungi Tugu Teofani dan Gereja Silo Kambuaya. Satuhal yang kami pelajari, bahwa prinsip hidup kebersamaan dan pengorbanan tampa pamrih membuat kampung ini terus berubah menyesuaikan diri dengan perubahan yang datang. Namun sesnguhnya ada yang datang dan ada yang pergi, ada angkatan yang lahir dan angkatan yang meninggal itulah siklus kehidupan. Namun semangat dan filososfi hidup tetap tinggal bersama generasi seterusnya. Meen Kanu Beta Yefun Yataam Anu, tna yatam amu yi. Amin.