Oleh: Agustinus R. Kambuaya
Tulisan Ini Diajukan Untuk
Diterbitkan Pada Rubrik Opini
Revolusi mental pernah
menjadi alat kampanye Joko Widodo yang
memikat hati para pemilih pada pemilihan umum Presiden Indonesia tahun
2014 silam. Strategi kampanye yang dilakukan oleh Jokowi, konsep revolusi
mental yang menjadi bagian dari Nawacita berhasil mengerakan rakyat Indonesia
untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum dan menjatuhkan pilihannya kepada
pasangan Jokowi-JK.
Esensi konsep revolusi mental sejatinya
bertumpu pada perubahan paradigma sebagai awal mula perubahan perilaku dan
karakter masyarakat Indonesia disemua aspek. Konsep revolusi mental yang
digagas Presiden terpilih secara kongkrit diwujudkan melalui kampanye dan
penyebarluasan nilai-nilai moralitas publik, privat, budaya kerja, disiplin
kerja, taat membayar pajak, semangat melayani dan gotong royong, menghargai
kebinekaan, tidak melakukan korupsi dan lain-lain. Konsep revolusi mental yang
ditawarkan berhasil memikat hati pemilih, karena menjanjikan transformasi baru
yang berbeda dari kepemimpinan sebelumnya.
Konsep revolusi mental bersama
slogan dan jargon-jargonnya berhasil menghantarkan Jokowi menuju tampuk
kekuasaan RI Satu dengan memperoleh total suara 70.997.833 suara atau setara
53.15 persen Luapan kegembiraan rakyat benar-benar menemukan klimaksnya pada
pesta rakyat pelantikan Jokowi-JK 20 Oktober 2014. Uforia, semangat dan harapan
rakyat Indonesia benar-benar digantungkan kepada Jokowi-JK. Pesta rakyat
berakhir dan rakyat Indonesia dari Sabang hinga Merauke menantikan realisasi
revolusi mental yang di janjikan Jokowi-JK.
Seratus hari kerja pertama
Presiden Jokowi-JK, konsep revolusi mental belum terwujud sebab masih
membutuhkan waktu yang cukup untuk mewjudkan mimpi revolusi mental tersebut.
Namun, setahun kemepimpinan Jokowi-JK saat ini sudah bisa di jadikan ukuran
jangka pendek kesuksesan konsep revolusi mental. Hingga satu tahu masa
kepemimpinan Jokowi-JK, konsep revolusi mental belum mampu membrikan pencerahan
dan trasnformasi yang siknifikan bagi masyarakat.
Dibidang pertahanan keamanan
konsep revolusi belum pahami dan dipraktekan dengan baik. Rangkaian penembakan
yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua memperlihatkan
bahwa revolusi mental belum menjadi bagian dari paradigma NTI-POLRI dalam
mengayomi masyarakat.
Revolusi Mental Vs Anarki
TNI Di Papua
Papua adalah salah satu
Provinsi dengan tingkat pelangaran HAM yang tinggi menurut laporan Komnas Ham
Papua dan Kontras Papua Tahun 2012-2013 rangkaian kekerasan TNI terhadap warga
sipil masih terus terjadi. Kenyataan ini semakin menegaskan bahwa pendekatan
keamanan masih dominan digunakan oleh TNI
dalam menjaga kedaulatan NKRI di Papua. Sejarah pelangaran HAM masa lalu
tidak serta merta menjadi pelajaran berharga bagi TNI-POLRI, rangkain kasus
pelangaran HAM masih berlanjut hinga
tahun 2014-2015.
Kasus kesalah pahaman antara
pelajar yang sedang mendirikan pondok natal dan anggota TNI Batalyon 753/AVT
Nabire berujung penembakan anggota TNI terhada Alpius Youw (17th), Yulian Yeimo
(17th), Simon Degei (18 th), Alpius Gobai (17 th) di lapangan Karel Gobay 8 Desember
Desember 2014. Kejadian serupa kembali terjadi pada hari kamis 27 Agustus tahun 2015 di Timika Papua. Saat itu
masyarakat berkumpul dalam acara pukul tifa Gereja Katolik Koperapoka, sebagai
syukuran menyambut orang Mimika pertama yang meraik gelar Doktor, namun oknom
anggota TNI yang datang dalam keadaan mabuk mengangu acara pukul tifa yang
sedang berlangsung terjadlah pertikaian yang berujung penembakan terhadap dua
pemuda Herman Mairimau dan Yulianus Okoare.
Kasus-kasus yang terjadi di
Papua ini memperlihatkan kepada masyarakat Papua bahkan Indonesia umumnya,
bahwa reformasi di tubuh TNI-POLRI belum serta merta merubah pendekatan
keamanan terhadap warga sipil di Papua dan Indonesia pada umumnya. Perilaku
mabuk-mabukan oknom aparat TNI yang melakukan penembakan ini jelas menunjukan
bahwa konsep revolusi mental belum di turunkan (breakdown) sebagai semangat
nilai pegabdian dalam tubuh TNI-POLRI. Konsep revolusi mental yang diusung
presiden jauh ini masih menjadi slogan dan jargon yang belum berhasil
mendisiplinkan perilaku militer yang kurang tertip, disiplin dan amoral.
Kehadiran TNI-POLRI di Papua
merupakan wujud bela Negara, memperthankan kedaulatan NKRI dari ancaman pihak
asing maupun menjaga stabilitas politik keamanan internal. Namun, jika keberadaan
militer yang bertindak ceroboh terhadap warga sipil akan menciptakan boomerang
sendiri bagi pemerintah. Pendekatan represif terhadap rakyat serta perilaku
TNI-POLRI yang kurang terpuji seperti mabuk-mabukan, akan mengakibatkan
kecintaan rakyat terhadap TNI-POLRI sebagai penyagom rakyat semakin pudar.
Bukan tidak mungkin, rakyat yang tidak merasakan kehadiran Negara dalam
memberikan rasa aman akan memberontak bahkan berafiliasi dengan pihak asing
untuk mengobok-obok NKRI melalui instrument HAM dan lain sebagainya.
Dilema keamanan nasional
mestinya tidak menjadi ketakutan yang berlebihan sehingga TNI-POLRI tidak
sebagai penjagaa keamanan dan rakyat sebagai musuh, namun sebaliknya TNI-POLRI
hendaknya mengedepankan paradigma dan sikap sebagai pelayan dan pegayom
masyarakat Papua. Pada kondisi ini TNI-POLRI dituntut untuk adaptif dan
fleksibel, kapan mengunakan kekerasan dan kapan melayani masyarakat layaknya
apparatus birokrasi lainnya.
Reolusi Mental TNI-POLRI
Sektor pertahanan keamanan
merupakan sector strategis yang menentukan bertahan dan runtuhnya suatu bangsa.
Kekuatan alutsista serta kekuatan fisik TNI-POLRI tidak menjadi faktor tugal
penentu kuat lemahnya suatu bangsa. Sikap dan karakter merupakan aspek yang
menentukan kekuatan bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa tentara rakyat
berhasil mencapai kemerdekaan dengan serba kekurangan, berbeda dengan belanda
yang berupaya mempertahakan Hindia Belanda dengan berbagai peralatan cangih,
namun satu hal yang pasti semangat tentara rakyat Indonesia jauh lebih kuat
dibandingkan peralatan tempur yang dimiliki belanda. Semangat tentara rakyat di
ikuti dengan sikap mereka yang tertip, disiplin, taat kepada Tuhan membuat
mereka berhasil meraih kemerdekaan yang kita nikmati saat ini.
Semangat tentara pembela
tanah air ini mestinya menjadi pedoman TNI-POLRI kita saat ini. Fakta yang
terjadi justru sebaliknya. Sebagian oknom TNI-POLRI kita ikut terlibat dalam
kasus korupsi, mabuk-mabukan, terlibat bisnis illegal, mendukung mafia dan
berbagai tindakan terpuji lainya. Bahkan lebih memprihatinkan lagi mengunakan
senjata dan peluru yang dibeli oleh uang rakyat menembak rakyatnya sendiri.
Gagasan revolusi mental mestinya dijadikan materi dalam membina angkatan muda
TNI-POLRI sehingga menjadi kebangaan rakyat, bukan musuh rakyat. Jika
nilai-nilai revolusi mental berhasil ditanamkan, maka TNI-POLRI akan mendapat
tempat di hati rakyat Indonesia.
Penulis Adalah Dosen Pada
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Cenderawasih
Jayapura Papua