Minggu, 14 Februari 2016

REVOLUSI MENTAL JOKOWI VS PELANGARAN HAM APARAT MILITER RI DI TANAH PAPUA


Oleh: Agustinus R. Kambuaya
 
Tulisan Ini Diajukan Untuk Diterbitkan Pada Rubrik Opini

Revolusi mental pernah menjadi alat kampanye Joko Widodo yang  memikat hati para pemilih pada pemilihan umum Presiden Indonesia tahun 2014 silam. Strategi kampanye yang dilakukan oleh Jokowi, konsep revolusi mental yang menjadi bagian dari Nawacita berhasil mengerakan rakyat Indonesia untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum dan menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Jokowi-JK.

 Esensi konsep revolusi mental sejatinya bertumpu pada perubahan paradigma sebagai awal mula perubahan perilaku dan karakter masyarakat Indonesia disemua aspek. Konsep revolusi mental yang digagas Presiden terpilih secara kongkrit diwujudkan melalui kampanye dan penyebarluasan nilai-nilai moralitas publik, privat, budaya kerja, disiplin kerja, taat membayar pajak, semangat melayani dan gotong royong, menghargai kebinekaan, tidak melakukan korupsi dan lain-lain. Konsep revolusi mental yang ditawarkan berhasil memikat hati pemilih, karena menjanjikan transformasi baru yang berbeda dari kepemimpinan sebelumnya. 

Konsep revolusi mental bersama slogan dan jargon-jargonnya berhasil menghantarkan Jokowi menuju tampuk kekuasaan RI Satu dengan memperoleh total suara 70.997.833 suara atau setara 53.15 persen Luapan kegembiraan rakyat benar-benar menemukan klimaksnya pada pesta rakyat pelantikan Jokowi-JK 20 Oktober 2014. Uforia, semangat dan harapan rakyat Indonesia benar-benar digantungkan kepada Jokowi-JK. Pesta rakyat berakhir dan rakyat Indonesia dari Sabang hinga Merauke menantikan realisasi revolusi mental yang di janjikan Jokowi-JK. 

Seratus hari kerja pertama Presiden Jokowi-JK, konsep revolusi mental belum terwujud sebab masih membutuhkan waktu yang cukup untuk mewjudkan mimpi revolusi mental tersebut. Namun, setahun kemepimpinan Jokowi-JK saat ini sudah bisa di jadikan ukuran jangka pendek kesuksesan konsep revolusi mental. Hingga satu tahu masa kepemimpinan Jokowi-JK, konsep revolusi mental belum mampu membrikan pencerahan dan trasnformasi yang siknifikan bagi masyarakat.

Dibidang pertahanan keamanan konsep revolusi belum pahami dan dipraktekan dengan baik. Rangkaian penembakan yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua memperlihatkan bahwa revolusi mental belum menjadi bagian dari paradigma NTI-POLRI dalam mengayomi masyarakat.

Revolusi Mental Vs Anarki TNI Di Papua
 
Papua adalah salah satu Provinsi dengan tingkat pelangaran HAM yang tinggi menurut laporan Komnas Ham Papua dan Kontras Papua Tahun 2012-2013 rangkaian kekerasan TNI terhadap warga sipil masih terus terjadi. Kenyataan ini semakin menegaskan bahwa pendekatan keamanan masih dominan digunakan oleh TNI  dalam menjaga kedaulatan NKRI di Papua. Sejarah pelangaran HAM masa lalu tidak serta merta menjadi pelajaran berharga bagi TNI-POLRI, rangkain kasus pelangaran HAM masih berlanjut hinga  tahun 2014-2015. 

Kasus kesalah pahaman antara pelajar yang sedang mendirikan pondok natal dan anggota TNI Batalyon 753/AVT Nabire berujung penembakan anggota TNI terhada Alpius Youw (17th), Yulian Yeimo (17th), Simon Degei (18 th), Alpius Gobai (17 th) di lapangan Karel Gobay 8 Desember Desember 2014. Kejadian serupa kembali terjadi pada hari kamis 27 Agustus  tahun 2015 di Timika Papua. Saat itu masyarakat berkumpul dalam acara pukul tifa Gereja Katolik Koperapoka, sebagai syukuran menyambut orang Mimika pertama yang meraik gelar Doktor, namun oknom anggota TNI yang datang dalam keadaan mabuk mengangu acara pukul tifa yang sedang berlangsung terjadlah pertikaian yang berujung penembakan terhadap dua pemuda Herman Mairimau dan Yulianus Okoare.

Kasus-kasus yang terjadi di Papua ini memperlihatkan kepada masyarakat Papua bahkan Indonesia umumnya, bahwa reformasi di tubuh TNI-POLRI belum serta merta merubah pendekatan keamanan terhadap warga sipil di Papua dan Indonesia pada umumnya. Perilaku mabuk-mabukan oknom aparat TNI yang melakukan penembakan ini jelas menunjukan bahwa konsep revolusi mental belum di turunkan (breakdown) sebagai semangat nilai pegabdian dalam tubuh TNI-POLRI. Konsep revolusi mental yang diusung presiden jauh ini masih menjadi slogan dan jargon yang belum berhasil mendisiplinkan perilaku militer yang kurang tertip, disiplin dan amoral.

Kehadiran TNI-POLRI di Papua merupakan wujud bela Negara, memperthankan kedaulatan NKRI dari ancaman pihak asing maupun menjaga stabilitas politik keamanan internal. Namun, jika keberadaan militer yang bertindak ceroboh terhadap warga sipil akan menciptakan boomerang sendiri bagi pemerintah. Pendekatan represif terhadap rakyat serta perilaku TNI-POLRI yang kurang terpuji seperti mabuk-mabukan, akan mengakibatkan kecintaan rakyat terhadap TNI-POLRI sebagai penyagom rakyat semakin pudar. Bukan tidak mungkin, rakyat yang tidak merasakan kehadiran Negara dalam memberikan rasa aman akan memberontak bahkan berafiliasi dengan pihak asing untuk mengobok-obok NKRI melalui instrument HAM dan lain sebagainya.

Dilema keamanan nasional mestinya tidak menjadi ketakutan yang berlebihan sehingga TNI-POLRI tidak sebagai penjagaa keamanan dan rakyat sebagai musuh, namun sebaliknya TNI-POLRI hendaknya mengedepankan paradigma dan sikap sebagai pelayan dan pegayom masyarakat Papua. Pada kondisi ini TNI-POLRI dituntut untuk adaptif dan fleksibel, kapan mengunakan kekerasan dan kapan melayani masyarakat layaknya apparatus birokrasi lainnya.
Reolusi Mental TNI-POLRI

Sektor pertahanan keamanan merupakan sector strategis yang menentukan bertahan dan runtuhnya suatu bangsa. Kekuatan alutsista serta kekuatan fisik TNI-POLRI tidak menjadi faktor tugal penentu kuat lemahnya suatu bangsa. Sikap dan karakter merupakan aspek yang menentukan kekuatan bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa tentara rakyat berhasil mencapai kemerdekaan dengan serba kekurangan, berbeda dengan belanda yang berupaya mempertahakan Hindia Belanda dengan berbagai peralatan cangih, namun satu hal yang pasti semangat tentara rakyat Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan peralatan tempur yang dimiliki belanda. Semangat tentara rakyat di ikuti dengan sikap mereka yang tertip, disiplin, taat kepada Tuhan membuat mereka berhasil meraih kemerdekaan yang kita nikmati saat ini.

Semangat tentara pembela tanah air ini mestinya menjadi pedoman TNI-POLRI kita saat ini. Fakta yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian oknom TNI-POLRI kita ikut terlibat dalam kasus korupsi, mabuk-mabukan, terlibat bisnis illegal, mendukung mafia dan berbagai tindakan terpuji lainya. Bahkan lebih memprihatinkan lagi mengunakan senjata dan peluru yang dibeli oleh uang rakyat menembak rakyatnya sendiri. Gagasan revolusi mental mestinya dijadikan materi dalam membina angkatan muda TNI-POLRI sehingga menjadi kebangaan rakyat, bukan musuh rakyat. Jika nilai-nilai revolusi mental berhasil ditanamkan, maka TNI-POLRI akan mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.

Penulis Adalah Dosen Pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Cenderawasih Jayapura Papua